Profil Komunitas Santa Theresia-Jakarta

Komunitas: Santa Theresia-Jakarta
Tanggal Berdiri: 13 Desember 1926
Suster Perintis: Mere Joseph

LATAR BELAKANG SEJARAH

A. Sekolah Theresia

Sejarah Biara Ursulin Komunitas St. Theresia, sangat erat kaitannya dengan SD St. Theresia, karena komunitas Theresia didirikan berawal dari adanya SD Theresia. Pada pertengahan bulan Juli 1926, Pastor Wubbe mendatangi Mere Joseph, Pemimpin Biara” Groote Kloster” ( sekarang Juanda) dengan tujuan meminjam uang 25000 gulden untuk membangun gereja. Sambil lalu beliau berkata: “ Haruskah di sana (Nieuw Gondangdia, sekarang Theresia) ada sekolah?” Kalimat yang diucapkan pastor Wubbe ini, merupakan langkah awal berdirinya sekolah St. Theresia. Peletakan batu pertama, diadakan pada tanggal 13 Desember 1926. Tanggal ini tentu menjadi tanggal yang bersejarah bagi sekolah Theresia. Tujuh bulan setelah peletakan batu pertama, sekolah ini dimulai dengan jumlah murid sebanyak 45 siswa TK ( Frobel School) dan 85 siswa SD ( 26 laki-laki, 59 perempuan). Pada tahun perdanan ini, tingkat SD terdiri dari kelas 1, 2, 3, 4 dan 5. Tahun berikutnya, dilengkapi dengan siswa-siswi kelas 6. Semua pengajar ketika itu adalah Suster-suster Ursulin.

Dari hari ke hari, sekolah Theresia terus berkembang. Setelah 25 tahun berkecimpung dengan dunia anak-anak, akhirnya Para Suster mulai mengembangkan sayap untuk merangkul anak-anak remaja, dengan membuka tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yaitu SMP, tepatnya pada bulan Agustus 1952. Delapan tahun kemudian, menyusul SMA, yang dimulai pada tahun 1960 dan tahun 1971, dibuka juga SMK Pariwisata. Keduanya ( SMA dan SMK) di bawah pimpinan Sr. Harlindis,OSU. Pada tahun 1994, SMA dan SMK dipisah. SMK, ternyata bukan paling akhir dari kelima unit yang telah didirikan, karena pada bulan Juli 2011, Theresia kembali membuka jenjang pendidikan yang paling kecil, yaitu Play Group.

Deheilege Theresia van Lisieux ( St. Theresia dari kanak-kanak Yesus) merupakan tokoh yang dipilih pelindung Sekolah Theresia, berdasarkan kesepakatan antara Pastor Wubbe dan Suster-suster Ursulin ketika itu. Mereka memilih St. Theresia, tentu saja bukan tanpa alasan, tetapi karena saat itu St. Theresia dari Kanak-kanak yesus merupakan tokoh yang cukup terkenal di kalangan umat katolik dan baru meninggal puluhan tahun sebelumnya. Selain itu, juga diharapkan agar setiap pribadi yang bergabung dalam “ keluarga besar Theresia”, mau meneladani semangat hidup St. Theresia dari kanak-kanak Yesus ini.

B. Biara Ursulin Komunitas St. Theresia

Sejak 01 juli 1927, lima orang suster yang berkarya di sekolah Theresia, setiap hari berangkat dari komunitas Juanda karena saat itu belum ada tempat tinggal bagi mereka di kompleks Theresia. Namun pada bulan Juni 1964, Komunitas Theresia dibuka tepatnya di lokasi TKK, sedangkan TKK dipindah ke lokasi SD. Pada tahun yang sama, rumah/ tempat untuk yunior secara resmi dipindahkan dari Jl. Merdeka-Bandung ke Theresia dan juga menggunakan lokasi TKK. Kompleks TKK yang tadinya selalu diramaikan oleh suara anak-anak, pada akhirnya menjadi tempat yang sunyi dan klausura ( tertutup bagi orang-orang luar biara). Penggunaan lokasi TKK ini hanya bersifat sementara, sambil menanti penyelesaian pembangunan gedung baru.

Karya yang telah dimulai para suster pada tahun 1927 itu, berkembang pesat. Setelah 5 tahun menggunakan lokasi TKK, akhirnya para suster (termasuk yunior) memiliki tempat sendiri, yaitu di gedung yang baru dibangun. Namun penggunaan gedung yang baru, tidak hanya untuk biara, tetapi juga untuk SMP, SMA, sekretariat KWI, dan Akademi Kateketik Katolik Indonesia ( AKKI). AKKI dibuka, khususnya untuk rumah studi aneka tarekat. AKKI merupakan realisasi keputusan Ursulin dengan tarekat-tarekat (IPSI), serta keuskupan. Beberapa ruangan yang ada pada gedung baru, juga dipinjamkan kepada Sekolah Tinggi Filsafat Teologi( STFT) Driyakara sebagai tempat perkuliahan para frater.

AKKI, dimulai pada tanggal 22 januari 1968 dan diresmikan oleh Mgr. Adrianus Djojoseputro,SJ. (kemudian diganti oleh Mgr. Leo Soekoto,SJ. Thn 1970). Ursulin dipercayakan sebagai penganggungjawab, didampingi pihak keuskupan. Mahasiswa yang bergabung di dalamnya datang dari aneka tarekat dan keuskupan, tidak hanya kaum biarawan/ti, awam pun bergabung di dalamnya. Para pengajar terdiri dari suster, pastor, dan “ staf dosen pilihan”. Dalam perjalanan selanjutnya, nama AKKI berubah. Selain itu tempat perkuliahan juga berpindah dan kepemilikan pun beralih ke tangan orang lain.

C. Komunitas-Komunitas Cabang

Sejarah berdirinya komunitas Theresia, tidak lepas dari beberapa komunitas kecil yang bernaung di bawahnya. Di antaranya: komunitas kebon Kacang, Komunitas Jl.Lombok, Komunitas Poso, Komunitas Atambua, dan Komunitas Timika. Komunitas Kebon Kacang, dimulai pada tahun 1970-1971 dan dirintis oleh Sr. Marian Bohen,OSU bersama dua suster muda lainnya. Komunitas kecil sederhana ini, berada di antara rumah kaum miskin dan kumuh. Masyarakat di sekitarnya sebagian besar beragama Muslim. Visi Misi Sr. Mariam Bohen (juga menjadi visi misi komunitas) yang berbunyi;” be Present, be who you are”, menjadi semangat yang mewarnai pelayanan mereka setiap hari diantara “ kaum papa”. Namun sayangnya, komunitas ini hanya berlangsung selama beberapa tahun dan ditutup pada tahun 1982, karena faktor tertentu. Beberapa tahun kemudian, Komunitas Theresia kembali membuka rumah baru di Jl. Lombok. Beberapa suster dari komunitas Theresia, bergantian menetap di rumah tersebut. Sampai sekarang rumah ini masih berdiri tegak, tetapi sayang tidak berpenghuni lagi. Hal ini tentu menjadi “PR” bagu Ursulin:” mau diapakan rumah ini?”.

Komunitas Poso-Sulawesi tengah, didirikan pada tahun 1986 bersamaan sekolah dan asrama. Kisah-kisah yang membanggakan sempat terukir dalam catatan Ursulin mengenai perkembangan karya Komunitas Poso. Diantaranya, jumlah siswa dan anak asrama yang dari hari ke hari terus bertambah. Luasnya tanah yang dimiliki komunitas, mendatangkan panen buah dan ternak yang tidak sedikit jumlahnya. Di luar keinginan Ursulin, cerita indah yang mulai terukir di komunitas ini harus berakhir dengan tragis. Kerusuhan yang menimpa daerah Poso pada tahun 1999, mengakhiri perjalanan karya Ursulin di tempat ini karena semua asset fan bangunan yang ada, semua habis dimakan si jago merah. Pada hari-hari selanjutnya, situasi Poso terus bergolak karena berbagai masalah sosial, maka pada akhirnya Ursulin memutuskan untuk tidak kembali berkarya di daerah Poso. Sampai saat ini (Februari 2013), tanah milik Ursulin di Poso masih dalam proses penjualan.

Pada tahun 1996 Ursulin mengembangkan sayapnya ke Pulau Timor, tepatnya di Atambua-Timor Barat. Karya yang dibuka saat itu, TKK dan SD. Pada mulanya, komunitas ini menjadi komunitas cabang Surabaya, namun dalam perjalanan waktu, tepatnya tahun 2007, Theresia menjadi komunitas induk Komunitas Atambua. Timika-papua barat adalah komunitas” termuda” yang menjadi bagian dari komunitas Theresia. Komunitas ini didirikan pada tahun 2005. Kehadiran para suster Ursulin di Timika, sepenuhnya untuk membantu karya keuskupan, khususnya di asrama ( putra-putri), sekolah, dan kantor keuskupan. Bangunan yang digunakan Ursulin pun seluruhnya milik keuskupan setempat.